Halo kalian. Selamat apapun waktu kalian di sana ketika sedang membaca tulisan ini. Kali ini aku ingin sedikit bercerita tentang penolakan, tentang atmosfer di sekelilingku yang semakin menggila, dan tentang bagaimana ini dapat mengubah hidupku meski sedikit. Hidupku yang sedang mengharapkan banyak keberuntungan ini.
Lelah. Kata yang pantas menggambarkan kondisi saat ini. Mengapa? Tahun ini adalah awal dari sebuah akhir. Aku lulus SMA. Bersyukur sekali dengan apa yang telah Tuhan beri. Beberapa hari setelah kelulusan, aku dihadapkan dengan pengumuman hasil seleksi jalur SNMPTN. Dimana kita tidak perlu mengikuti ujian tertulis. Tidak lolos. Ya, aku tidak lolos. Bukan hanya aku. Banyak teman-teman terdekatku sama sepertiku.Kita tidak gagal hanya saja kita belum lolos. Ada satu diantara teman dekatku lolos seleksi itu. Iri? Tentu saja tidak. Aku ikut merayakan. Atau mungkin belum iri? Nanti dulu. Seperti kapal di laut lepas. Tidak ada badai atau tsunami. Tenang, namun tetap saja airnya dapat menggerakkan kapal. Seperti itulah aku menghadapi penolakan pertama ini. Marah pada Tuhan tentu saja tidak mungkin. Tuhan telah memberikan aku kesempatan mengikuti seleksi ini. Sebagian temanku malah tidak dapat mengikuti seleksi ini.
Akhirnya aku mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi yang kedua. SBMPTN dengan tes dan membayar uang pendaftaran. Tes. Iya, aku harus mengikti tes itu. Persaingan yang ketat mendorongku untuk terus belajar dan aku mulai mengikuti bimbingan belajar. Aku akui aku memang malas untuk hal itu. Inikah rencana Tuhan? Karena Dia tahu aku malas, dia memberiku kesempatan pada seleksi kedua ini agar aku tidak bermalasan. Kulakukan semua dengan senang hati dan penuh harap bahwa ilmu yang kudapat akan membantuku di seleksi nanti. Untuk ini semua, aku bersyukur.
Bersyukurlah. Karena apapun yang kita syukuri akan berlipat ganda
Satu bulan lamanya aku belajar. Tersisa dua hari lagi sebelum seleksi bersama masuk perguruan tinggi akan berlangsung. Setiap hari kurapalkan doa pada Tuhan. Tentu saja agar aku siap dengan apa yang akan aku hadapi esok. Saking banyaknya keinginanku, aku sering tidak tahu apa yang harus aku sematkan dalam doa. Dan tibalah saat tes itu berlangsung. Aku usahakan agar bangun pagi sekali untuk sholat agar segalanya menjadi ringan. Aku berangkat dengan penuh kesiapan, penuh doa, dan penuh harap. Tes selesai. Semua lancar meski beberapa soal tidak bisa aku jawab. Then, what's next? Menunggu hasilnya yang lamanya kira-kira satu bulan. Lama ya teman-teman tapi aku senang. Bulan depan adalah Bulan Ramadhan. Dimana setiap amalan baik akan dilipat gandakan, keberkahan selalu menyelimuti, dan satu yang utama adalah doa orang berpuasa yang diijabah oleh-Nya. Aku gunakan kesempatan ini untuk merapal doa setiap hari untuk hasil seleksi bersama itu. Hasil yang terbaik untuk semuanya, bukan hanya untuk diriku.
Malam itu, aku menyiapkan hati. Sholat dan bacaan ayat dari kitab suci menghidupkanku. Siapkah diri ini melihat hasilnya besok? Apakah siap hati ini dengan kenyataan yang akan aku hadapi? Lebih tenang hati ini ketika aku mulai membaca ayat-ayat Nya. Aku berhenti karena pegal duduk dan merunduk selama beberapa jam. Aku mulai berdoa di atas kasur. Dan tiba-tiba semuanya gelap.
Esoknya, aku memulai aktivitas seperti biasa. Tidak terasa. Nah, pengumuman beberapa jam lagi. Sejak pagi, istighfar selalu aku rapal agar jantung ini tidak mencuat keluar sewaktu-waktu. Mencoba tenang. Hanya berhasil dalam hitungan menit saja. Aku mulai membuka website SBMPTN lewat ponsel. Di situ tertulis sekitar empat menit lagi akan diumumkan hasilnya. Siang itu panas dan aku haus. Aku ingin membuat peach tea. Setelah membuat itu aku kembali pada ponselku. Sudah waktunya, batinku. "Bella Nanda Larashati". Lalu aku ketik nomor pendaftaranku dengan hati-hati dan berulang kali memastikan bahwa itu benar. "Submit". Berulang kali aku mengalami server error. Ku coba lagi dan lagi. "Submit". Kata pertama yang aku baca adalah permohonan maaf. Aku tidak mau membacanya lagi. Sudah pasti aku tidak lolos. Lagi? Ya Allah, aku tidak lolos lagi? Terhenyak. Terdiam. Hal pertama yang aku lakukan adalah bercermin dan menyisir rambutku. Entahlah, itu reflek saja. Kemudian aku memberitahu Ayah.
"Yah, Pah. Maaf, adek nggak lolos SBM."
"Masak sih dek? Semuanya nggak lolos?", tanya Ayah
"Iya Pah. Semua. Ini Pah kalo mau liat.", Aku sodorkan ponselku. Dan terlihat jelas raut wajah kesedihan Ayah. "Ya udah. Nggak apa-apa, besok coba lagi. Sana, telfon Mamah.", Saat itu Ibu sedang bekerja di luar kota.
"Iya Pah.", Hati ini menjerit. Ayah, aku minta maaf. Kali ini memang belum. Tunggulah, Ayah.
Sebelum memberitahu Ibu, aku memberitahu pada teman-teman dekatku. Seperti biasa. Melow dan Klise. Kata-kata semangat, doa, dan apapun itu yang membuat aku terlihat baik kembali dan memang mampu menerima semua ini. Namun, terimakasih untuk kalimat-kalimat penenang dan penyemangat itu teman-teman. Geulis, Arina, Afan, Rani, Aron, Nawang, Caca, dan yang lain. Mereka sama-sama belum lolos SBMPTN. Tapi usahanya untuk saling menyemangati patut diacungi jempol. Kecuali Arina, Ia lolos SNMPTN.Tapi dia ikut merasakan kesedihan kami.
Aku mencari nomor kontak Ibu. Tersambung.
"Mah, Assalamualaikum."
"Walaikumsalam nak, piye? Ada apa?", Seperti biasa. Ibuku yang periang.
"Mah, adek nggak ketrima SBM.", Hening.
"Kok bisa, nak? Udah bilang papah?",
"Ya mana adek tau kenapa, Mah. Belum rejekinya, maafin adek Mah. Adek udah bilang papah kok Mah."
"Terus gimana?", ada nada kesedihan di sana. Namun Ibu adalah artis terhebat. Ia mampu berekspresi apapun meski di luar suasana hati yang sebenarnya.
"Masih ada seleksi mandiri, Mah. Nanti adek coba daftar lagi ya. Tapi nunggu Mamah pulang aja deh."
"Iya nak. Pokoknya kamu, anak mamah jangan berkecil hati. Masih banyak jalan, nak. Banyak. Masih banyak waktu. Bukan berarti yang nggak ketrima itu bodoh, itu nasib. Mereka udah disediakan tempatnya,nak.", Kata Ibu.
"Iya Mah. Adek nggak apa-apa kok. Ya udah Mah. Pulsa adek abis nanti, hahahaha."
"Ah kamu tu kebiasaan. Ya sudah, jangan berkecil hati, ya. Inget.", telepon terputus. Masih pukul satu lebih empat puluh menit. Buka puasa juga masih lama. Aku melirik Ayah. Air mukanya masih sedih. Aku harus kuat. Kuat menahan sesuatu yang memaksa keluar dari mataku hingga berbuka nanti.
Sedihnya karena sesuatu yang telah lama didambakan pergi dari genggaman,
mengalahkan segala macam kegembiraan pada saat itu.
Setelah berbuka, aku bersiap shalat maghrib. Aku wudhu, lama. Karena harus membereskan mata sembabku. Setelah shalat, aku membuka BBM. Banyak diantara teman-temanku membuat status. Entah itu tentang keberhasilannya, kesamaan nasib denganku, atau quotes tentang apapun yang sedang terjadi saat itu. Aku membuka beberapa Group Chat di beberapa tempat. BBM, Line, dan Whatsapp. Isi dari chat ya tentu saja menanyakan "Gimana SBMPTN? Lolos?" Hah ampun deh. Ada satu diantara banyak itu. Aku tidak menyalahkannya. Dia memang sedang berbahagia mendapatkan universitas. Dia memulai dengan cerita kostnya, makanan di kota rantaunya, atau kalimat semangat yang basi dilontarkannya. Lain suasana di BBM Group Chat. Aku sama sekali tidak menunjukkan kesedihanku. Kita chatting seperti biasa. Ingin menunjukkannya namun aku merasa tidak ada gunanya. Aku buka timeline update BBM.
"Alhamdulillah UNS."
"Ya Allah makasih, besok ke Jogja sekalian cari kost. Semoga ibu kost ngga galak."
"Solo *highfive*"
"Yah, pisah sama temen-temen. Jogja lah, Magelang lah, Aku di Solo.."
Solo. UNS. Dua hal yang menjadi impianku. CIta-citaku. Iri. Aku iri. Bisakah kalian diam? Ya, kalian sedang bahagia memang. Namun bisakah kalian tidak pamer dengan gaya mengeluh macam itu?
Aku tutup ponselku. Naik ke kasur. Memeluk guling. Basah. -o-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar