Sabtu, 15 Juni 2019

Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Undang-Undang


KEABSAAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008
                                              Oleh: M Bagus Boy Saputra 17.0201.0036 
Sumber : Heniyatun, Bambang Tjatur S, Puji sulistiyaningsih, Kajian Yuridis Pembuktian dengan Informasi Elektronik dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan, Varia justisia


   Teknologi informatika dan komunikasi telah mampu mengubah pola hidup masyarakat secara global dan mengakibatkan perubahan sosial, budaya pendidikan, ekonomi dan pola penegakan hukum yang kecepatanya berlangsung secara signifikan. TIK dewasa ini tidak saja terbukti memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, tetapi juga menjadi sarana efektif untuk melakukan kejahatan. Kejahatan menggunakan media TIK merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan, misalnya: banking crime, credit card, hacking, cracking, face books, dating, cyber porn, cyber sex, interception,etc.                                                            
     Di era globalisasi transaksi elektronik di satu sisi memang menguntungkan, tetapi di pihak yang lain menimbulkan penyelewengan dan masalah hukum, kususnya mengenai sahya suatu perajnian dengan menggunakan media elektronik. Menurut ketentuan pasal 1313 KUH Perdata: Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebi mengikatkan dirinya terahadaap satu orang atau lebih. Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata ditegaskan syarat sahnya perjanjian: sepakat saling mengikat diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian dan suatu sebab yang halal.                                                                                    
   Keabsahan transaksi elektronik dengan mendasar pada ketentuan pasal 1320 KUH Perdata, sebenarnya tidak menjadi masalah jika dihubungkan dengan media yang digunakan dalam transaksi yang lain, karena ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tidak mensyaratkan bentuk dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi. Asas kebebasan berkontrak yang dianut KUH Perdata dimana para pihak dapat bebas menentukan dan membuat suatu perikatan atau perjanjian dalam bertransaksi yang dilakukan berdasarkan iktikat baik (vide pasal 1338 KUH Perdata). Jadi apapun bentuk bentuk dan media dari kesepakatan tersebut, tetap berlaku dan mengikat para piak karena perikatan tersebut merupakan undang-undang bagi yang membuatnya.                                                                                    Permasalahan yang akan timbul dari suatu transaksi apabila salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi). Penyelesaian permasalaan yang terjadi tersebut selalu berkait dengan apa yang menjadi barang bukti dalam bertransaksi terlebih apabila transaksi yang menggunakan sarana elektronik. Hal ini karena menggunakan dokumen atau data elektronik sebagai akibat transaksi melalui media elektronik, belum diatur secara khusus dalam hukum acara yang berlaku, baik dalam hukum acara perdata maupun dalam hukum acara pidana.                           
   Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 11 taun 2008 tentang informasi dan komunikasi elektronik (UU ITE), Makama Agung menyadari adanya perkembangan teknologi inormatika dalam menyikapi penggunaan microilm  atau microice  untuk menyimpan suatu dokumen. MA dengan suratnya tanggal 14 Januari 1988 yang diajukan kepada Menteri Kehakiman menyatakan bahwa microfilm dapat dipergunakan sebagai alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184 ayat (1) huruf c KUHA Pidana, denga catatan bahwa baik microfilm maupun microfiche itu, yang sebelumnya dijamin otentiknya, dapat ditelusuri kembali dari registrasi dan berita acaranya. Demikian pula dengan diundangkanya Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tanggal 24 Mei 1997, tentang dokumen perusaaan yang dalam pasal 15 ayat (1) ditegaskan : Dokumen Perusahaan yang tela dimuat dalam microfilm atau media lainya dan atau hasil cetakanya merupaka alat bukti yang sah. Selanjutnya apabila memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka 2, mengenai pengertian dokumen dan dikaitkan degan pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun 1997 Jo pasal 1320 KUH Perdata transaksi melalui media elektronik adala sah menurut hukum.                                                      
Undang-Undang No 11 Tahun 2008 merupakan ukum baru dalam kasana peraturan perundangan di Indonesia. Karea itu dengan menganut asas yurisdiksi ekstrateritorial dan alat bukti elektronik, sudah seperti alat bukti lain yang diatur dalam KUJAP pasal 184 atau H.IR.Bg. (Pasal 45,164) jika dikaitkan denga ketentuan pasal 11 UU ITE tanda tangan elektronik diakui memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konensional yang menggunkan tintan basah dan bermaterai. Keadaan itu diharapkan akan memberikan kepastian hukum bagi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang telah pesat berkembang pesat dan memasuki berbagai segi kehidupan berbagsa dan bernegara.                                                                                                                                    Eksistensi ketika terjadi sengketa keperdataan (wanpresasi), hukum mulai muncul ke permukaan karena dibutuhkan indikator keabsaan perjanjian, keb, hukum mulai muncul ke permukaan karena dibutuhkan indikator keabsaan perjanjian, keabsahan transaksi, pembuktian, keabsahan alat bukti, penyitaan dan seterusnya. Dengan demikian kendala yag dihadapi dalam pembuktian di persidangan adalah keabsahan dokumen-dokumen transaksi yang dapat diajukan sebagai alat bukti.  Alat bukt dalam kasus perdata dapat dilihat dengan tegas dalam pasal 164 H.I.R/ R.Bg dan pasal 1866 KUH Perdata, bahwa alat bukti adalah tulisan, saksi-saksi, persangkaan, pengakuan atau sumpah. Dalam H.I.R/ R.Bg maupun KUHAP belum mengatur masalah alat bukti elektronik namun di berbagai undang-undang yang baru telah mengatur dokumen elektronik menjadi alat bukti yang sah.                                                                                               
 Cara melakukan pembuktian dengan mengunakan alat bukti Informasi Elektronik dalam perkara perdata sama dengan pengajuan alat bukti tertulis atau surat, yaitu diajukan dalam persidangan dalam bentuk salinan atau foto copy dari alat bukti tertulis tersebut, dan harus dicocokkan dengan aslinya terlebih dahulu. Informasi Elektronik sebagai alat bukti, dalam penyajiannya di persidangan sedikit ada perbedaan, yaitu harus sudah ada pengakuan dari pemiliknya, setidaknya dapat diperlihatkan atau ditampilkan di pengadilan, sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah seperti alat bukti tertulis lainnya.                       
  Dalam prakteknya Informasi Elektronik sebagai alat bukti dalam perkara perdata, diperlukan pengakuan dari pemiliknya, karena yang terpenting adanya pengakuan agar bukti tersebut menjadi sah. Persoalannya adalah jika Informasi Elektronik tersebut diingkari atau tidak diakuinya. Seperti diketahui bersama bahwa Pasal 164 HIR mengatur tentang macam-macam alat bukti yang digunakan di persidangan, yaitu bukti surat, bukti saksi, pengakuan, persangkaan, dan sumpah. Telah dijelasakan di atas bahwa Informasi Elektronik, tertmasuk dalam katagori bukti tulisan (hasil cetak). Namun di sisi lain bahwa harus ada pengakuan. Kalau demikian halnya maka Informasi Elektronik tersebut termasuk dalam katagori pengakuan, sebab jika pengakuan tersebut dilakukan di depan persidangan maka menjadi bukti yang memberatkan bagi yang mengaku tersebut. Jadi merupakan bukti yang mementukan, yaitu merupakan bukti yang mengikat, maka hakim wajib menerima pengakuan tersebut sebagai hal yang benar, dan pengakuan tersebut tidak dapat dicabut lagi. Lain halnya jika pengakuan tersebut dilakukan di luar persidangan, maka merupakan bukti bebas, yaitu diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim bebas untuk menentukan, apakah akan menerimanya atau akan menolaknya.                                                
Apabila Informasi Elektronik tersebut diingkari atau tidak diakuinya, maka cara pembuktiannya kembali pada Pasal 163 HIR, yaitu barang siapa mendalilkan maka harus membuktikan dalilnya tersebut. Dalam hal ini maka penggugatlah yang harus membuktikannya. Selain itu merujuk juga pada Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2008: “Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundangundangan”. Pasal 7 UU ITE ini menjelaskan bahwa Dokumen Elektronik dan/ atau Informasi Elektronik dapat digunakan sebagai alasan timbulnya suatu hak. Namun demikian agar Dokumen
Elektronik dan/ atau Informasi Elektronik dapat dinilai sebagai alat bukti maka diperlukan seorang ahli untuk melakukan penilaian. Karena untuk menentukan apakah Dokumen Elektronik/ Informasi Elektronik tersebut layak dijadikan alat bukti atau tidak dibutuhkan kemampuan seorang ahli dalam bidang tersebut. Terakhir apabila alat bukti elektronik tersebut tetap diingkari/ tidak mau mengakuiya maka dapat digunakan alat bukti yang terakhir yaitu bukti sumpah. Hakim dalam hal ini dapat membebankan sumpah suppletoir kepada salah satu pihak yang buktinya sudah mendekati kebenaran.
Dokumen Elektronik dan atau Informasi Elektronik secara yuridis dapat digolongkan ke dalam alat bukti tertulis sehingga cara mengajukannya sebagai alat bukti juga tidak jauh berbeda, yaitu dengan cara mencetaknya dan/ atau menampilkannya pada saat persidangan, kemudian harus cocok dengan aslinya (Pasal 5 jo Pasal 6 UU ITE), namun demikian hakim dapat pula meminta keterangan dari seorang saksi ahli untuk memastikan kebenarannya. Keterangan saksi ahli dapat dijadikan pertimbangan hakim untuk memastikan apakah Informasi Elektronik tersebut sah digunakan sebagai alat bukti di persidangan. Jadi sebenarnya Informasi Elektronik tersebut jika sudah ada pengakuan dari pemiliknya maka Informasi Elektronik tersebut sudah sah sebagai alat bukti, namun apabila hakim menganggap masih belum cukup maka perlu ditambah dengan bukti lain. Lebih lanjut Pasal 6 UU ITE menyebutkan: ”dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yangmensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Undang-Undang

KEABSAAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008                                                 Oleh: M Bagus Boy Sa...