Rabu, 10 Agustus 2016

Untukmu Ayah : Kuharap Surga Ada Untukmu

Halo Ayah,
Izinkan aku, putri kecilmu ini menuliskan sesuatu untukmu. Bukan untuk meratapi kepergianmu. Hanya untuk menyampaikan rasa rinduku pada Ayah. Kau yang selama ini menjadi pelengkap diriku yang kosong. Tujuh belas tahun menjadi pelindungku. Ayah, aku harap Ayah tahu isi hatiku.
Ayah, rasanya aku telah melewatkan berpuluh-puluh jam tanpamu. Padahal baru saja Ayah meninggalkanku. Tapi Ayah tenang saja. Aku dan Ibu baik-baik saja. Iya walaupun kami semua merasa kehilangan Ayah.
Merasa kehilangan hanya akan ada jika engkau merasa memilikinya.
Kalimat sederhana namun dalam ini adalah lirik lagu. Entah mengapa semenjak ayah berpulang lagu ini terdengar semakin berat. Aku tahu, perjalananmu akan semakin susah jika aku terus bersedih. Aku minta maaf Ayah.
Aku dan Ibu masih berjuang membiasakan diri. Membiasakan melakukan kegiatan yang seharusnya dilakukan kita bertiga menjadi kegiatan yang hanya dilakukan oleh kami. Aku dan Ibu. Bangun pagi yang sudah tanpamu. Atau aku yang tidak lagi membuat tiga cangkir teh hangat. Namun hanya membuat dua, untukku dan Ibu. Dan Ayah, aku rindu. Rindu diingatkan shalat olehmu. Ayah yang selalu menanyakan perihal ibadahku. Walau seringkali itu membuatku kesal. Ayah, kali ini aku rindu. Untuk hal ini aku menangis. Maaf Ayah, aku tidak bisa menahannya.


Rasanya seperti mimpi. Empat hari lalu, hari dimana menjadi hari pertama Ayah dirawat di rumah sakit. Siapa yang mengira? Ayah yang hari sebelumnya masih pergi dengan kami tiba-tiba merasa sakit. Pagi-pagi aku dan Ibu mengantar Ayah ke rumah sakit. Gejala stroke, kata dokter. Saat itu Ayah masih dapat berbicara dan menatapku. Tatapan yang dalam dan Ayah, aku merasakan sesuatu dalam tatapanmu itu. Lalu Ayah berbicara padaku, bahwa Ayah senang aku diterima di universitas negeri di kotaku. Iya Ayah. Aku tahu alasan mengapa ini semua terjadi. Mengapa aku ditolak oleh beberapa universitas di luar kota dan mengapa Ayah hanya menargetkan universitas di kotaku.

Dua hari dirawat, kondisi Ayah malah menurun. Ayah sudah dipasangi alat bantu pernafasan dan alat bantu makan melalui selang. Ayah, betapa hati tak tega melihatmu seperti itu. Ayah hanya bisa mendengar suara kami saja tanpa mampu menjawabnya. Ayah terbaring lemas dan sama sekali tidak bergerak. Aku merasa kasihan pada Ayah. Aku menunggui Ayah. Kuharap Ayah tahu. Kuharap Ayah juga tahu jika teman-temanku, teman-teman Ayah, dan saudara-saudara kita datang menjenguk dan mendoakan Ayah. Sepertinya Ayah tahu. Aku percaya itu.

Sabtu, 6 Agustus 2016 pukul 13:45.
Aku menuju rumah sakit. Aku melihat Ayah dari jendela. Ibu ada menemani Ayah. Aku bersama budhe, tante, om, dan temanku. Ayah, aku bisa merasakan kesakitanmu. Nafasmu yang mulai berat dan tersengal-sengal membuatku ngilu. Aku membimbingmu untuk mengingat Allah dari jendela. Sementara budhe dan tante pulang. Tidak Ayah mereka tidak meninggalkanmu. Mereka pulang untuk membacakan doa untuk Ayah. "Allah...Allah...Allah..." bisikku dekat telinga Ayah. Gemas rasanya karena aku hanya membimbing Ayah hanya lewat jendela. Aku pun melompat masuk. Jika saja Ayah melihatnya, Ayah pasti geli. Aku berada di samping Ayah bersama Ibu. Ibu dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. Ayah, aku tahu ini menyedihkan. Namun aku juga tahu bukan air mata yang Ayah inginkan. Sebisa mungkin aku menahan air mataku. Aku berhasil selama itu.
Ayah tahu? Kaki Ayah dingin. Aku takut. Ibu takut dan menangis. Aku memikirkan banyak hal tentang Ayah saat itu. Apa Ibu juga sama? Aku tidak tahu. Aku hanya melihat kesedihan dan ketakutan di wajah Ibu. Aku tidak begitu memikirkannya. Aku fokus berdoa untuk Ayah. Manakala mukjizat datang pada Ayah. Nyatanya tidak.

Dokter datang bersama satu perawat. Memeriksa Ayah. Kemudian berkata harapan untuk Ayah tinggal sedikit dan menyuruh kami semua agar terus berdoa. Ibu menangis Yah. Aku bisikkan ke Ibu dan berkata bahwa dokter tidak selalu benar. Ibu sudah ikhlas, katanya. Doa-doa kami rapalkan untuk Ayah. Semua mendoakan Ayah. Mendoakan untuk kesembuhan Ayah, mendoakan akan datangnya keajaiban, atau mendoakan agar Ayah diberi kemudahan menjelang takdir Ayah meninggalkan dunia ini. Ayah, tahukah perasaan kita saat itu? Tak karuan Yah. Aku tahu Ayah mendengar apa yang Ibu sampaikan pada Ayah. Saat itu Ibu bilang, "Pah, papah masak tega ninggalin mamah. Papah juga kan janji mau liat adek kuliah sampai wisuda." Kami semua menangis. Ayah juga menangis. Termasuk Aku yang sedari tadi menahan sesuatu yang mendobrak ingin keluar dari mataku.
Pukul 16:00 Aku tidak tahu tepatnya pukul berapa Ayah tiada. Nafas Ayah sudah sampai di kerongkongan. Separuh badan Ayah sudah dingin. Nadi di leher Ayah masih. Aku dan semuanya sama-sama membimbing Ayah mengingat Allah. Namun takdir tidak dapat diubah walau sedetikpun. Ayah pulang.
Betapa itu bukan kabar gembira untuk kami semua Ayah. Betapa cepat Ayah meninggalkanku di sini. Aku tidak menangis. Namun rasanya ada sesuatu yang hilang dari diriku.

Minggu, 7 Agustus 2016 pukul 11:00. Ayah dimakamkan.
Out of my reach. But not out of my mind.
Ayah,
Selama tujuh hari kedepan setelah Ayah dimakamkan, aku akan menemui Ayah. Menemani Ayah dengan bacaan ayat-ayatNya. Ada dua malaikat Allah yang akan mendatangi Ayah setelah Ayah dimakamkan. Ayah jangan takut dan jangan getar. Aku sempat mendengar percakapan orang bahwa Ayah itu orang baik, terbuka, ramah, dan rajin beribadah. Ayah, itu semua benar. Jadi aku tahu Ayah tidak gentar di sana. Ayah jangan takut. Kubur Ayah akan lapang dan terang. Aku yakin. Kami semua yakin. Aku akan mendoakan Ayah.

Ayah,
Sudah cukup semua nasihat Ayah untukku. Tapi Ayah, belum cukup bagiku menghabiskan waktu bersamamu. Betapa banyak waktu yang aku lewatkan. Banyak waktu yang aku habiskan bersama teman-teman daripada bersamamu. Bahkan saat mengetahui Ayah cemburu, aku tetap pergi dengan mereka. Maafkan Aku, Ayah. Aku yakin dalam diam Ayah, banyak hal tersimpan di sana.
Ayah, banyak rencana yang belum kita wujudkan. Banyak janjiku pada Ayah yang tak sempat aku tepati. Pun ada janji Ayah untukku yang belum Aku rasakan. Aku tidak marah, Ayah. Karena Aku tahu sebelum Ayah berjanji padaku, Ayah lebih dulu berjanji pada Tuhan. Bahwa waktu Ayah hanya sampai di sini.
Aku tahu betapa Ayah sangat menyayangi kami. Meski seringkali kasih sayangmu tak kau tampakkan. Meski itu sering Aku salah artikan. Sebenarnya Ayah sangat menyayangiku, tak kurang-kurang, seperti Ibu menyayangiku. Terimakasih Ayah. Aku tidak tahu kata apa yang tepat untuk berterimakasih pada Ayah.
Ayah, akan ada namamu disetiap doaku yang mengudara.
Salam dariku yang rindunya akan terus menggebu untukmu,
Aku mencintaimu Ayah.




Jumat, 29 Juli 2016

Keberuntungan : Ditunggu atau Diusahakan? (Bagian 2)

Penolakan mungkin merupakan momok bagi sebagian orang. Ditolah perguruan tinggi atau perusahaan yang kita impikan misalnya. Namun jika kita lebih berkaca lagi tentang hidup ini, akankah penolakan semenakutkan itu? Atau mungkin kita saja yang berlebihan? Penolakan seperti itu mungkin peringatan bagi kita untuk terus belajar dan memantaskan diri. Penolakan bukanlah tentang saat kita harus berhenti atau terus berlari, melainkan tentang apa yang sebenarnya kita cari.
If something is destined for you, never in million years it will be for somebody else.

Penolakan bukan saat kita harus menyerah, tapi saat semangat kita dipertanyakan. Seperti aku saat itu. Gagal di SBMPTN tidak menyurutkan keinginanku untuk mendaftar di UNS lagi. Aku mengikuti seleksi mandiri. Tanpa tes. Hanya dengan nilai SBMPTN. Awalnya aku percaya diri saja karena dapat memilih empat prodi. Dari pilihan empat prodi itu, bisa juga mendaftar sebagai diploma. Menurutku tidak masalah jika aku lolos dan masuk diploma. Aku yakin bisa.
Tidak sampai di situ saja. Aku tidak menggantungkan semuanya pada UNS. Aku juga mendaftarkan diri di seleksi mandiri kampus Yogyakarta dan Kotaku. Dengan bermodalkan percaya, aku mendaftarkan untuk prodi yang sama. Terserah kan? Aku hanya ingin mengejar apa yang harus kukejar. Aku download soal-soal mandiri tahun lalu dan mulai mengerjakannya. Agak malas memang. Entah, mungkin karena terpengaruh atmosfer yang gila ini.
Persiapan yang ((dirasa)) cukup, aku mantap saja. Berangkat ke Yogyakarta bersama temanku. Sampai di kampus, Aku melihat sangat banyak orang sepertiku. Berjuang. Sempat terhibur juga karena ini. Berpikir bahwa ternyata bukan hanya Aku saja yang belum mendapatkan universitas. Jadi aku tidak perlu merutuk. Wah, sangat mengerikan sekali pikiranku saat itu. Setelah selesai seleksi mandiri di Yogyakarta, dua hari setelah itu aku mengikuti seleksi mandiri di kotaku. Dan hari itu juga, pengumuman seleksi mandiri UNS akan diterbitkan. 
"Eh nanti kalo kita ketrima UNS, kostnya bareng ya.", kata temanku yang juga mendaftar SM UNS.
"Iya, santai. Lagi ikutan mandiri di sini, tau-tau ketrima di Solo. Hahahaha kan sombong.", jawabku.
Aku lihat di webiste UNS jika pengumuman itu akan diterbitkan pukul 17:00. Namun, aku diberitahu oleh teman jika pengumuman sudah bisa diakses. Lagi-lagi inilah saatnya. Lagi-lagi jantungku ingin mencuat. Aku buka website dan mengetikkan namaku. Life sucks, fairytale's better. Lagi-lagi penolakan. Solo, kamu tega sekali. Ya Allah, Aku sangat ingin. Lagi? Dan teman-temanku pun sama. Hanya ada satu yang diterima. Itupun dia tolak. Dia tidak mau di Solo karena orang tuanya tidak ingin dia terlalu jauh. Damn. Aku di sini, sangat membutuhkan itu. Dan kamu di sana, melepasnya. That's life, ridiculous. SM UNS bagiku adalah kesempatan terakhir untuk tahun ini. And, it's gone. Semangat datang untukku. Banyak teman-teman menyemangati. Hanya sebagian kecil yang tahu bahwa UNS adalah impianku (yang akan terwujud). Sedih. Aku memberitahukan pada orang tuaku. Mereka bilang bahwa tidak masalah kegagalan datang lagi padaku. Tidak masalah. Mereka tidak menekanku aku harus kuliah ini-itu. Mereka juga bilang bahwa tidak masalah jika rejekiku ada di tahun depan. Namun bukan berarti mereka mendoakanku tidak kuliah tahun ini. Kata Ibu, jangan berkecil hati. Waktuku masih panjang. Kuliah tahun depan? Tidak masalah jika aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Tidak ada salahnya menunda satu tahun kuliah.  Asalkan kamu tahu apa yang harus kamu lakukan selama satu tahun ke depan.
Aku tidak dapat membendung air mata. Itu keluar begitu saja. Aku bercerita Si A sudah di kampus ini, Si B sudah dapat kos-kosan, dan Si C Si D. Aku bagaimana? Lalu Ibu berkata, "Dek, rejeki udah ada yang ngatur. Itu ada di sini, itu ada di sana silahkan saja. Kamu jangan iri. Mamah papah kan nggak maksa-maksa kamu harus kuliah tahun ini. Masih ada jalan, nak. Tidak apa-apa kamu mendaftar jurusan itu lagi. Mamah juga takut kamu menyesal nanti kalau jurusan yang kamu ambil tidak sesuai."
Ya sudah. Aku terkadang lupa bagaimana rasa penolakan itu. Terkadang rasa sakitnya menusuk. Aku menangis. Aku sedih. Aku berdoa dengan masih menyisakan kekecewaan dan kemarahan. Namun, diderasnya air mata yang jatuh dan amarah yang berkuasa aku tetap mengatakan Tuhan itu baik dan aku sayang Engkau. Allah itu baik, Aku sayang Allah. Aku tahu, Allah paham betul apa yang aku butuhkan dan bukan apa yang aku inginkan. Everything will be fine. -o-

Kamis, 28 Juli 2016

Keberuntungan : Ditunggu atau Diusahakan? (Bagian 1)

Halo kalian. Selamat apapun waktu kalian di sana ketika sedang membaca tulisan ini. Kali ini aku ingin sedikit bercerita tentang penolakan, tentang atmosfer di sekelilingku yang semakin menggila, dan tentang bagaimana ini dapat mengubah hidupku meski sedikit. Hidupku yang sedang mengharapkan banyak keberuntungan ini.


Lelah. Kata yang pantas menggambarkan kondisi saat ini. Mengapa? Tahun ini adalah awal dari sebuah akhir. Aku lulus SMA. Bersyukur sekali dengan apa yang telah Tuhan beri. Beberapa hari setelah kelulusan, aku dihadapkan dengan pengumuman hasil seleksi jalur SNMPTN. Dimana kita tidak perlu mengikuti ujian tertulis. Tidak lolos. Ya, aku tidak lolos. Bukan hanya aku. Banyak teman-teman terdekatku sama sepertiku.Kita tidak gagal hanya saja kita belum lolos. Ada satu diantara teman dekatku lolos seleksi itu. Iri? Tentu saja tidak. Aku ikut merayakan. Atau mungkin belum iri? Nanti dulu. Seperti kapal di laut lepas. Tidak ada badai atau tsunami. Tenang, namun tetap saja airnya dapat menggerakkan kapal. Seperti itulah aku menghadapi penolakan pertama ini. Marah pada Tuhan tentu saja tidak mungkin. Tuhan telah memberikan aku kesempatan mengikuti seleksi ini. Sebagian temanku malah tidak dapat mengikuti seleksi ini.

Akhirnya aku mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi yang kedua. SBMPTN dengan tes dan membayar uang pendaftaran. Tes. Iya, aku harus mengikti tes itu. Persaingan yang ketat mendorongku untuk terus belajar dan aku mulai mengikuti bimbingan belajar. Aku akui aku memang malas untuk hal itu. Inikah rencana Tuhan? Karena Dia tahu aku malas, dia memberiku kesempatan pada seleksi kedua ini agar aku tidak bermalasan. Kulakukan semua dengan senang hati dan penuh harap bahwa ilmu yang kudapat akan membantuku di seleksi nanti. Untuk ini semua, aku bersyukur.
Bersyukurlah. Karena apapun yang kita syukuri akan berlipat ganda
Satu bulan lamanya aku belajar. Tersisa dua hari lagi sebelum seleksi bersama masuk perguruan tinggi akan berlangsung. Setiap hari kurapalkan doa pada Tuhan. Tentu saja agar aku siap dengan apa yang akan aku hadapi esok. Saking banyaknya keinginanku, aku sering tidak tahu apa yang harus aku sematkan dalam doa. Dan tibalah saat tes itu berlangsung. Aku usahakan agar bangun pagi sekali untuk sholat agar segalanya menjadi ringan. Aku berangkat dengan penuh kesiapan, penuh doa, dan penuh harap. Tes selesai. Semua lancar meski beberapa soal tidak bisa aku jawab. Then, what's next? Menunggu hasilnya yang lamanya kira-kira satu bulan. Lama ya teman-teman tapi aku senang. Bulan depan adalah Bulan Ramadhan. Dimana setiap amalan baik akan dilipat gandakan, keberkahan selalu menyelimuti, dan satu yang utama adalah doa orang berpuasa yang diijabah oleh-Nya. Aku gunakan kesempatan ini untuk merapal doa setiap hari untuk hasil seleksi bersama itu. Hasil yang terbaik untuk semuanya, bukan hanya untuk diriku.
Malam itu, aku menyiapkan hati. Sholat dan bacaan ayat dari kitab suci menghidupkanku. Siapkah diri ini melihat hasilnya besok? Apakah siap hati ini dengan kenyataan yang akan aku hadapi? Lebih tenang hati ini ketika aku mulai membaca ayat-ayat Nya. Aku berhenti karena pegal duduk dan merunduk selama beberapa jam. Aku mulai berdoa di atas kasur. Dan tiba-tiba semuanya gelap.

Esoknya, aku memulai aktivitas seperti biasa. Tidak terasa. Nah, pengumuman beberapa jam lagi. Sejak pagi, istighfar selalu aku rapal agar jantung ini tidak mencuat keluar sewaktu-waktu. Mencoba tenang. Hanya berhasil dalam hitungan menit saja. Aku mulai membuka website SBMPTN lewat ponsel. Di situ tertulis sekitar empat menit lagi akan diumumkan hasilnya. Siang itu panas dan aku haus. Aku ingin membuat peach tea. Setelah membuat itu aku kembali pada ponselku. Sudah waktunya, batinku. "Bella Nanda Larashati". Lalu aku ketik nomor pendaftaranku dengan hati-hati dan berulang kali memastikan bahwa itu benar. "Submit". Berulang kali aku mengalami server error. Ku coba lagi dan lagi. "Submit". Kata pertama yang aku baca adalah permohonan maaf. Aku tidak mau membacanya lagi. Sudah pasti aku tidak lolos. Lagi? Ya Allah, aku tidak lolos lagi? Terhenyak. Terdiam. Hal pertama yang aku lakukan adalah bercermin dan menyisir rambutku. Entahlah, itu reflek saja. Kemudian aku memberitahu Ayah.
"Yah, Pah. Maaf, adek nggak lolos SBM."
"Masak sih dek? Semuanya nggak lolos?", tanya Ayah
"Iya Pah. Semua. Ini Pah kalo mau liat.", Aku sodorkan ponselku. Dan terlihat jelas raut wajah kesedihan Ayah. "Ya udah. Nggak apa-apa, besok coba lagi. Sana, telfon Mamah.", Saat itu Ibu sedang bekerja di luar kota.
"Iya Pah.", Hati ini menjerit. Ayah, aku minta maaf. Kali ini memang belum. Tunggulah, Ayah.

Sebelum memberitahu Ibu, aku memberitahu pada teman-teman dekatku. Seperti biasa. Melow dan Klise. Kata-kata semangat, doa, dan apapun itu yang membuat aku terlihat baik kembali dan memang mampu menerima semua ini. Namun, terimakasih untuk kalimat-kalimat penenang dan penyemangat itu teman-teman. Geulis, Arina, Afan, Rani, Aron, Nawang, Caca, dan yang lain. Mereka sama-sama belum lolos SBMPTN. Tapi usahanya untuk saling menyemangati patut diacungi jempol. Kecuali Arina, Ia lolos SNMPTN.Tapi dia ikut merasakan kesedihan kami.

Aku mencari nomor kontak Ibu. Tersambung.
"Mah, Assalamualaikum."
"Walaikumsalam nak, piye? Ada apa?", Seperti biasa. Ibuku yang periang.
"Mah, adek nggak ketrima SBM.", Hening.
"Kok bisa, nak? Udah bilang papah?",
"Ya mana adek tau kenapa, Mah. Belum rejekinya, maafin adek Mah. Adek udah bilang papah kok Mah."
"Terus gimana?", ada nada kesedihan di sana. Namun Ibu adalah artis terhebat. Ia mampu berekspresi apapun meski di luar suasana hati yang sebenarnya.
"Masih ada seleksi mandiri, Mah. Nanti adek coba daftar lagi ya. Tapi nunggu Mamah pulang aja deh."
"Iya nak. Pokoknya kamu, anak mamah jangan berkecil hati. Masih banyak jalan, nak. Banyak. Masih banyak waktu. Bukan berarti yang nggak ketrima itu bodoh, itu nasib. Mereka udah disediakan tempatnya,nak.", Kata Ibu.
"Iya Mah. Adek nggak apa-apa kok. Ya udah Mah. Pulsa adek abis nanti, hahahaha."
"Ah kamu tu kebiasaan. Ya sudah, jangan berkecil hati, ya. Inget.", telepon terputus. Masih pukul satu lebih empat puluh menit. Buka puasa juga masih lama. Aku melirik Ayah. Air mukanya masih sedih. Aku harus kuat. Kuat menahan sesuatu yang memaksa keluar dari mataku hingga berbuka nanti.
Sedihnya karena sesuatu yang telah lama didambakan pergi dari genggaman, 
mengalahkan segala macam kegembiraan pada saat itu.

Setelah berbuka, aku bersiap shalat maghrib. Aku wudhu, lama. Karena harus membereskan mata sembabku. Setelah shalat, aku membuka BBM. Banyak diantara teman-temanku membuat status. Entah itu tentang keberhasilannya, kesamaan nasib denganku, atau quotes tentang apapun yang sedang terjadi saat itu. Aku membuka beberapa Group Chat di beberapa tempat. BBM, Line, dan Whatsapp. Isi dari chat ya tentu saja menanyakan "Gimana SBMPTN? Lolos?" Hah ampun deh. Ada satu diantara banyak itu. Aku tidak menyalahkannya. Dia memang sedang berbahagia mendapatkan universitas. Dia memulai dengan cerita kostnya, makanan di kota rantaunya, atau kalimat semangat yang basi dilontarkannya. Lain suasana di BBM Group Chat. Aku sama sekali tidak menunjukkan kesedihanku. Kita chatting seperti biasa. Ingin menunjukkannya namun aku merasa tidak ada gunanya. Aku buka timeline update BBM. 
"Alhamdulillah UNS."
"Ya Allah makasih, besok ke Jogja sekalian cari kost. Semoga ibu kost ngga galak."
"Solo *highfive*"
"Yah, pisah sama temen-temen. Jogja lah, Magelang lah, Aku di Solo.."
Solo. UNS. Dua hal yang menjadi impianku. CIta-citaku. Iri. Aku iri. Bisakah kalian diam? Ya, kalian sedang bahagia memang. Namun bisakah kalian tidak pamer dengan gaya mengeluh macam itu?
Aku tutup ponselku. Naik ke kasur. Memeluk guling. Basah. -o- 

Minggu, 21 Februari 2016

Untuk Kalian Teman-Sahabatku di Masa Putih Abu-Abu

Hello, there. Tak terasa tiga tahun luar biasa ini akan berakhir. Segala yang dimulai pasti memiliki akhir. Dari awal hingga akhir itu, beberapa diantaranya akan selalu aku ingat. Wajah-wajah yang dulu asing namun kini menjadi teman dekatku, ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan pada kalian.

Saat Pertama Kali Masuk SMA, Kalianlah yang Menjadikanku Sebagai "Aku"

Kita yang masih murid baru terlihat amat lugu. Lidah ini terasa kelu sehingga hanya berkata halo, yang tidak dibumbui dengan basa-basi seperti sekarang ketika kita sudah akrab.
Aku, kamu, dia saling membantu ketika kita sama-sama harus menjalani MOS. Hahaha, kita bahkan belum menunjukan sifat ke"aku"an kita. Malu untuk memulai obrolan hingga hanya senyum terlempar dari kita. Kedekatan pun berlanjut ketika kita berada di kelas yang sama dan memilih bangku yang berdekatan. Kita berbagi cerita dan menertawakan apa saja. Sudut-sudut kelas kita penuhi untuk bercerita. Bahkan tak jarang kita mengagumi senior-senior atau menertawai mereka. Hahaha, seenaknya saja kita. 
Aku juga ingat betapa kita senang bukan kepalang sewaktu ada jam pelajaran kosong karena guru yang tak bisa datang. Kita memanfaatkannya dengan bermain Hp, laptop, menjadikan kelas sebagai bioskop dengan menonton film bersama, memenuhi udara kelas dengan suara-suara sumbang atau memilih tidur siang dengan beralaskan buku-buku tebal yang memusingkan, dan ada pula dari kita yang lebih memilih kabur ke kantin atau WC. 
Kalian juga ingat? Atau ingatkah kalian saat-saat dimana detak jantung kita lebih cepat karena memberi contekan saat tes? Hahaha, atau membuka HP untuk sekedar browsing jawaban, memberi contekan kepada teman yang duduk agak jauh dengan kita? Hahaha, itu sangat seru. Bahkan kita kadang mengerjai mahasiswa yang sedang praktek mengajar di kelas kita, bukan?


Ah, betapa aku rindu pada masa itu, kawan. Ketika bahu ini hanya terbebani ransel yang penuh dengan buku tebal dan laptop dan telinga yang hanya mendengar cerita dan tawa bukan cerita gosip yang membuat hati ngilu.

Walaupun Kedekatan Kita Pernah Berjarak, Toh Kita Selalu Pulang untuk Kembali Menjadi Akrab


Saat kecanggungan mulai pudar, kita dipisahkan dengan penjurusan dan pembagian kelas dimana membuat diantara kita berpisah. Sempat ingin bergabung lagi dengan kalian. Namun apa boleh buat. Bukankah kita harus memiliki ruang lebih agar dapat berinteraksi dengan yang lain? Berteman tak melulu harus dengan itu-itu saja, ya kan? Awalnya, kita selalu menyempatkan waktu untuk bercengkrama dan bertukar saran. Namun kelamaan, kita disibukkan dengan tugas baru, teman baru, dan suasana yang baru. Lalu satu-persatu dari kita mulai menjauh. Hanya senyuman dan teguran kecil saat melintas di depan kalian. Dalam hati, ingin sekali kembali akrab dengan kalian. Tak jarang masalah kecil membuat kita berjauhan. 
Namun, kita selalu kembali menjadi kawan dekat. Karena kita tau, kita tak sanggup berjauhan tanpa teman bicara. Tanpa rasa canggung, kita langsung saja menghampiri. Entah akan ada topik pembicaraan apa nantinya, kita tetap duduk bersama.


Meski Terlihat Tak Ada Masalah, Namun Rasa Kesal dan Lelah Pasti Pernah Menghampiri

Terkadang kalian pergi sesuka hati tanpa menghampiri atau aku yang hobi pergi sendiri, atau kalian menyukai ini sedang aku menyukai itu. Rasa kesal pastilah pernah kita rasakan. Namun tak apa. Dalam kepala kita telah tertulis bahwa memang kita teman dekat namun tak melulu harus bersama-sama kemanapun kaki melangkah. 
Terkadang beberapa rencana pergi bersama hanya menjadi wacana. Kesal rasanya mengapa tak pernah terwujud. Padahal kita telah merencanakannya dengan menggebu-gebu. Iya, kita memang sibuk. Saat duduk di kelas 12 memang banyak agenda mendadak yang menghampiri. Memaksa kita untuk meng-cancel rencana kita. Namun saat semua dirasa sempat untuk pergi bersama, kita selalu semangat mewujudkannya.


Waktu Tak Dapat Menunggu

Saat kesenangan kita rasakan bersama-sama hingga aku melupakan sesuatu. Satu tanggal dalam kalender berlalu. Beribu-ribu hari berlalu. Waktu berlalu sangat cepat hingga tak sempat menunggu. Namun saat itu tetap akan tiba. Saat dimana kita akan berpisah. Saat semua sadar, mungkin kalian juga mulai sadar bahwa kita banyak membuang-buang waktu. 
Seharusnya kita lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Seharusnya kita lebih banyak pergi bersama lalu mengambil foto bersama. Seharusnya kita lebih banyak mengolok-olok atau bahkan bertengkar. Saat semua berlalu, maukah kalian menyisakan sedikit ruang dalam memori kalian? Agar aku bisa singgah di dalamnya. Dan maukah kalian menyempatkan diri untuk melihat foto-foto lama kita? Agar kita ingat betapa cupunya kita dulu dan sekarang kita menjadi dewasa yang telah melewatkan banyak hal bersama.

Kepada X-6, 11IPS3, 12IPS3, dan SMAN 4 Kota Magelang ku

Awalnya aku mengira bahwa kita hanyalah remaja yang bersama karena ingin meraih cita-cita saja. Semakin jauh kurasakan ternyata tidak seperti itu. Aku merasa nyaman berada dekat kalian. Kita bersekolah di tempat yang sama untuk meraih masa depan. Namun tahukah kalian bahwa masa depan itulah yang akan memisahkan kita? Bahwa sekuat apapun tangan ini berpegangan, akhirnya akan kita lepas juga. Karena dari awal jalan kita berbeda. Untuk kalian semua, tetaplah ingat akan hal itu.
- Terimakasih atas 3 tahun yang berkesan ini.
- Terimakasih telah menjadi temanku.
- Terimakasih untuk tulus menemaniku.
- Terimakasih telah menerimaku apa adanya.
- Terimakasih untuk selalu menghargaiku.
- Terimakasih telah menjadikan saat biasa menjadi istimewa.
- Terimakasih karena kalian sedihku menjadi terobati.
- Terimakasih mau mendengarkanku.
- Terimakasih kalian selalu menjadi diri kalian sendiri.


Terimakasih walau berjuta kata tidak mampu mewakili segalanya. Berjanjilah padaku bahwa kalian akan tetap menjaga tali pertemanan dan persaudaraan kita. Berjanjilah hingga jantung tak lagi mampu memompa darah. Berjanjilah bahwa ini bukanlah janji yang dapat menyublim karena terpaan waktu. Aku menyayangi kalian.





Sabtu, 20 Februari 2016

Ku Tahu Kau Tidak Akan Lelah Menyayangiku, Ibu

Sejauh apapun kau di sana Ibu, aku tahu bibirmu selalu ucapkan doa untukku. Aku tahu di sana ibu berjuang demi masa depanku. Pesan yang tak pernah berhenti untukku walau hanya sekedar menanyakan apakah aku sudah makan atau belum, meski ibu sedang sibuk-sibuknya. Ibu, ditinggal lama olehmu adalah hal menyebalkan Bu. Jika aku tidak ingat untuk apa Ibu pergi, mungkin aku tak menghiraukanmu lagi.

"Habis ini gimana? Pencet apa lagi, dek?"
Yah, kata-kata yang terlontar dari Ibu saat kesulitan menggunakan ponsel. Terkadang aku menghela nafas atau aku memutar bola mataku. Tentu saja itu tidak terlihat olehmu. "Ini lho mah, terus pencet ini lagi baru deh pencet yang satu." tanpa menunjukan sifat gemas, aku mengajarimu Bu. Saat aku menunjukkan rasa gemasku, Ibu berkata "Nak, ini mama belajar biar kalo mama kerja di luar bisa smsan atau bbm adek. Mama suka khawatir adek belum makan." 
Ah Ibu, sungguh tidak mungkin aku berhenti menyayangimu.

Tatapanmu Selalu Penuh Kasih
Tatapan teduh yang selalu Ibu berikan padaku selalu memberitahuku bahwa kasihmu tak pernah padam. Sentuhan lembut penuh kasih selalu membuat anakmu ini nyaman berada di dekatmu. Aku tahu Ibu lelah dengan pekerjaan rumah yang Ibu kerjakan setiap harinya. Namun, aku heran, Bu. Sekalipun aku tak pernah melihat wajah lelah dari Ibu. Ketika aku pulang sekolah, Ibu selalu menyambutku dengan keceriaan khas yang Ibu miliki. Panggilan sayang untukku tak pernah absen terucap olehmu membuatku betah berada di rumah. Ibu selalu bisa menciptakan suasana hangat di sini. Banyak temanku senang karena keramahanmu Bu. Karena cerewet Ibu bukan cerewet yang menyebalkan. 

Biarlah orang menganggapku anak rumahan. Mereka tak tahu di sini aku memiliki segalanya, yaitu kau Ibu.
Saat Ayah Tak Kerja, Ibu Memilih untuk Menggantikannya
Dulu saat Ayah masih bekerja, Ibu terkadang juga bekerja membantu Ayah. Saat Ayah mengalami kecelakaan kecil dalam pekerjaannya, Ibulah yang selalu menasihati Ayah. Ibu pula yang selalu mengingatkan Ayah untuk selalu berhati-hati. Hingga Ayah tidak bekerja, Ibu meminta izin untuk bekerja. Karena dorongan biaya sekolahku pula membuat Ibu sering berada di luar kota. Sering aku kesepian, Bu. Pesan singkatku tak pernah absen kukirimkan untukmu. Aku tanya kapan Ibu akan pulang, meskipun sering Ibu tidak menjawabnya. Tidak apa Bu. Mungkin Ibu juga bingung bagaimana mengatakannya padaku. Aku tidak tahu Ibu bohong atau tidak saat mengatakan Ibu baik-baik saja. Tapi aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Bu. Aku percaya Ibu.

Aku Tahu Doamu Selalu Terucap Untukku, Karena Kemudahan Selalu Mengikutiku
Aku yakin suksesku ini berkat doa-doamu Ibu. Meskipun anakmu ini menjengkelkan, Ibu tak menghiraukan itu. Semangat, doa, dan apapun yang terbaik untuk kesuksesanku, aku dapatkan darimu Ibu.
Ibu, terimakasih atas segala yang Ibu berikan untukku. Aku janji akan lebih bersabar menunggu kepulangan Ibu dari bekerja. Bukannya aku tak sabar, aku hanya merindukanmu Bu. Aku tak tahu kapan Ibu akan meninggalkanku. Aku akan selalu melakukan yang terbaik untukmu.
Ibu, aku janji akan tetap menjadi putri kecil Ibu dan Ayah. 
Bu, berjanjilah juga untukku agar tetap bersabar menanti kesuksesanku. 
Aku mencintaimu Bu.


Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Undang-Undang

KEABSAAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008                                                 Oleh: M Bagus Boy Sa...