Sabtu, 15 Juni 2019

Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Undang-Undang


KEABSAAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008
                                              Oleh: M Bagus Boy Saputra 17.0201.0036 
Sumber : Heniyatun, Bambang Tjatur S, Puji sulistiyaningsih, Kajian Yuridis Pembuktian dengan Informasi Elektronik dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan, Varia justisia


   Teknologi informatika dan komunikasi telah mampu mengubah pola hidup masyarakat secara global dan mengakibatkan perubahan sosial, budaya pendidikan, ekonomi dan pola penegakan hukum yang kecepatanya berlangsung secara signifikan. TIK dewasa ini tidak saja terbukti memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, tetapi juga menjadi sarana efektif untuk melakukan kejahatan. Kejahatan menggunakan media TIK merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan, misalnya: banking crime, credit card, hacking, cracking, face books, dating, cyber porn, cyber sex, interception,etc.                                                            
     Di era globalisasi transaksi elektronik di satu sisi memang menguntungkan, tetapi di pihak yang lain menimbulkan penyelewengan dan masalah hukum, kususnya mengenai sahya suatu perajnian dengan menggunakan media elektronik. Menurut ketentuan pasal 1313 KUH Perdata: Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebi mengikatkan dirinya terahadaap satu orang atau lebih. Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata ditegaskan syarat sahnya perjanjian: sepakat saling mengikat diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian dan suatu sebab yang halal.                                                                                    
   Keabsahan transaksi elektronik dengan mendasar pada ketentuan pasal 1320 KUH Perdata, sebenarnya tidak menjadi masalah jika dihubungkan dengan media yang digunakan dalam transaksi yang lain, karena ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tidak mensyaratkan bentuk dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi. Asas kebebasan berkontrak yang dianut KUH Perdata dimana para pihak dapat bebas menentukan dan membuat suatu perikatan atau perjanjian dalam bertransaksi yang dilakukan berdasarkan iktikat baik (vide pasal 1338 KUH Perdata). Jadi apapun bentuk bentuk dan media dari kesepakatan tersebut, tetap berlaku dan mengikat para piak karena perikatan tersebut merupakan undang-undang bagi yang membuatnya.                                                                                    Permasalahan yang akan timbul dari suatu transaksi apabila salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi). Penyelesaian permasalaan yang terjadi tersebut selalu berkait dengan apa yang menjadi barang bukti dalam bertransaksi terlebih apabila transaksi yang menggunakan sarana elektronik. Hal ini karena menggunakan dokumen atau data elektronik sebagai akibat transaksi melalui media elektronik, belum diatur secara khusus dalam hukum acara yang berlaku, baik dalam hukum acara perdata maupun dalam hukum acara pidana.                           
   Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 11 taun 2008 tentang informasi dan komunikasi elektronik (UU ITE), Makama Agung menyadari adanya perkembangan teknologi inormatika dalam menyikapi penggunaan microilm  atau microice  untuk menyimpan suatu dokumen. MA dengan suratnya tanggal 14 Januari 1988 yang diajukan kepada Menteri Kehakiman menyatakan bahwa microfilm dapat dipergunakan sebagai alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam pasal 184 ayat (1) huruf c KUHA Pidana, denga catatan bahwa baik microfilm maupun microfiche itu, yang sebelumnya dijamin otentiknya, dapat ditelusuri kembali dari registrasi dan berita acaranya. Demikian pula dengan diundangkanya Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tanggal 24 Mei 1997, tentang dokumen perusaaan yang dalam pasal 15 ayat (1) ditegaskan : Dokumen Perusahaan yang tela dimuat dalam microfilm atau media lainya dan atau hasil cetakanya merupaka alat bukti yang sah. Selanjutnya apabila memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka 2, mengenai pengertian dokumen dan dikaitkan degan pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun 1997 Jo pasal 1320 KUH Perdata transaksi melalui media elektronik adala sah menurut hukum.                                                      
Undang-Undang No 11 Tahun 2008 merupakan ukum baru dalam kasana peraturan perundangan di Indonesia. Karea itu dengan menganut asas yurisdiksi ekstrateritorial dan alat bukti elektronik, sudah seperti alat bukti lain yang diatur dalam KUJAP pasal 184 atau H.IR.Bg. (Pasal 45,164) jika dikaitkan denga ketentuan pasal 11 UU ITE tanda tangan elektronik diakui memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konensional yang menggunkan tintan basah dan bermaterai. Keadaan itu diharapkan akan memberikan kepastian hukum bagi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang telah pesat berkembang pesat dan memasuki berbagai segi kehidupan berbagsa dan bernegara.                                                                                                                                    Eksistensi ketika terjadi sengketa keperdataan (wanpresasi), hukum mulai muncul ke permukaan karena dibutuhkan indikator keabsaan perjanjian, keb, hukum mulai muncul ke permukaan karena dibutuhkan indikator keabsaan perjanjian, keabsahan transaksi, pembuktian, keabsahan alat bukti, penyitaan dan seterusnya. Dengan demikian kendala yag dihadapi dalam pembuktian di persidangan adalah keabsahan dokumen-dokumen transaksi yang dapat diajukan sebagai alat bukti.  Alat bukt dalam kasus perdata dapat dilihat dengan tegas dalam pasal 164 H.I.R/ R.Bg dan pasal 1866 KUH Perdata, bahwa alat bukti adalah tulisan, saksi-saksi, persangkaan, pengakuan atau sumpah. Dalam H.I.R/ R.Bg maupun KUHAP belum mengatur masalah alat bukti elektronik namun di berbagai undang-undang yang baru telah mengatur dokumen elektronik menjadi alat bukti yang sah.                                                                                               
 Cara melakukan pembuktian dengan mengunakan alat bukti Informasi Elektronik dalam perkara perdata sama dengan pengajuan alat bukti tertulis atau surat, yaitu diajukan dalam persidangan dalam bentuk salinan atau foto copy dari alat bukti tertulis tersebut, dan harus dicocokkan dengan aslinya terlebih dahulu. Informasi Elektronik sebagai alat bukti, dalam penyajiannya di persidangan sedikit ada perbedaan, yaitu harus sudah ada pengakuan dari pemiliknya, setidaknya dapat diperlihatkan atau ditampilkan di pengadilan, sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah seperti alat bukti tertulis lainnya.                       
  Dalam prakteknya Informasi Elektronik sebagai alat bukti dalam perkara perdata, diperlukan pengakuan dari pemiliknya, karena yang terpenting adanya pengakuan agar bukti tersebut menjadi sah. Persoalannya adalah jika Informasi Elektronik tersebut diingkari atau tidak diakuinya. Seperti diketahui bersama bahwa Pasal 164 HIR mengatur tentang macam-macam alat bukti yang digunakan di persidangan, yaitu bukti surat, bukti saksi, pengakuan, persangkaan, dan sumpah. Telah dijelasakan di atas bahwa Informasi Elektronik, tertmasuk dalam katagori bukti tulisan (hasil cetak). Namun di sisi lain bahwa harus ada pengakuan. Kalau demikian halnya maka Informasi Elektronik tersebut termasuk dalam katagori pengakuan, sebab jika pengakuan tersebut dilakukan di depan persidangan maka menjadi bukti yang memberatkan bagi yang mengaku tersebut. Jadi merupakan bukti yang mementukan, yaitu merupakan bukti yang mengikat, maka hakim wajib menerima pengakuan tersebut sebagai hal yang benar, dan pengakuan tersebut tidak dapat dicabut lagi. Lain halnya jika pengakuan tersebut dilakukan di luar persidangan, maka merupakan bukti bebas, yaitu diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim bebas untuk menentukan, apakah akan menerimanya atau akan menolaknya.                                                
Apabila Informasi Elektronik tersebut diingkari atau tidak diakuinya, maka cara pembuktiannya kembali pada Pasal 163 HIR, yaitu barang siapa mendalilkan maka harus membuktikan dalilnya tersebut. Dalam hal ini maka penggugatlah yang harus membuktikannya. Selain itu merujuk juga pada Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2008: “Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundangundangan”. Pasal 7 UU ITE ini menjelaskan bahwa Dokumen Elektronik dan/ atau Informasi Elektronik dapat digunakan sebagai alasan timbulnya suatu hak. Namun demikian agar Dokumen
Elektronik dan/ atau Informasi Elektronik dapat dinilai sebagai alat bukti maka diperlukan seorang ahli untuk melakukan penilaian. Karena untuk menentukan apakah Dokumen Elektronik/ Informasi Elektronik tersebut layak dijadikan alat bukti atau tidak dibutuhkan kemampuan seorang ahli dalam bidang tersebut. Terakhir apabila alat bukti elektronik tersebut tetap diingkari/ tidak mau mengakuiya maka dapat digunakan alat bukti yang terakhir yaitu bukti sumpah. Hakim dalam hal ini dapat membebankan sumpah suppletoir kepada salah satu pihak yang buktinya sudah mendekati kebenaran.
Dokumen Elektronik dan atau Informasi Elektronik secara yuridis dapat digolongkan ke dalam alat bukti tertulis sehingga cara mengajukannya sebagai alat bukti juga tidak jauh berbeda, yaitu dengan cara mencetaknya dan/ atau menampilkannya pada saat persidangan, kemudian harus cocok dengan aslinya (Pasal 5 jo Pasal 6 UU ITE), namun demikian hakim dapat pula meminta keterangan dari seorang saksi ahli untuk memastikan kebenarannya. Keterangan saksi ahli dapat dijadikan pertimbangan hakim untuk memastikan apakah Informasi Elektronik tersebut sah digunakan sebagai alat bukti di persidangan. Jadi sebenarnya Informasi Elektronik tersebut jika sudah ada pengakuan dari pemiliknya maka Informasi Elektronik tersebut sudah sah sebagai alat bukti, namun apabila hakim menganggap masih belum cukup maka perlu ditambah dengan bukti lain. Lebih lanjut Pasal 6 UU ITE menyebutkan: ”dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yangmensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.


Media Elektronik sebagai Alat Bukti


Oleh    : Rischa Indah Saputri/17.0201.0035/4A
Dosen Pengampu : Heniyatun, SH.,Mhum

“ Pembuktian Media Elektronik (sosial media) dapat Dijadikan Alat Bukti yang Sah”

UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan dasar hukum mengenai kekuatan hukum alat bukti elektronik dan syarat formil dan materil alat bukti elektronik agar dapat diterima di persidangan. Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008 tegas menyebutkan bahwa setiap informasi/dokumen elektronik baru dianggap sah sebagai alat bukti sepanjang dapat diakes, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Sedangkan bunyi Pasal 5 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya dan ketersediaannya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materiil tersebut dibutuhkan digital forensik. Persyaratan materiil tersebut dibutuhkan jika alat bukti tersebut dibantah oleh pihak lawan.

·         Apakah media elektronik (sosial media) dapat dijadikan alat bukti ?
Dari penjelasan diatas, sudah jelas bahwa media elektronik dapat dijadikan alat bukti di Pengadilan . Dan Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUITE telah mengatur dengan jelas kedudukan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti yang sah sesuai dengan  Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Pertimbangan hukum hakim menerima bukti Informasi Elektronik adalah untuk memperkuat/ melengkapi alat-alat bukti lainnya. Pengajuan alat bukti Informasi Elektronik menurutnya tidak perlu melalui saksi ahli, karena alat bukti Informasi Elektronik itu mudah diketahui keotentikanya sehingga pengajuan bukti Informasi Elektronik tersebut tidak ditolak oleh hakim.
            Menurut 164 HIR Alat Bukti Hukum acara Perdata , yaitu :
1.      Bukti tulisan
2.      Bukti dengan saksi-saksi
3.      Persangkaan-persangkaan
4.      Pengakuan
5.      Sumpah

Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Kedua, hasil cetak dari Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak dari Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut yang akan menjadi Alat Bukti Elektronik (Digital Evidence). Sedangkan hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti surat. Selain itu bahwa Informasi Elektronik termasuk atau dapat pula digolongkan ke dalam alat bukti tertulis jika berbentuk tulisan (dicetak/ diprint) dan asli.. Informasi Elektronik mempunyai kekuatan pembuktian seperti alat bukti tulisan jika dapat ditampilkan ataupun dicetak dan pemilik mengakui kepemilikanya. Hal tersebut dapat dipahami dengan diundangkanya UU ITE maka Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik sebenarnya merupakan perluasan alat bukti yang secara limitatif telah diatur dalam Pasal 164 HIR/ Pasal 284 RBg dan 1866 KUHPerdata.


Informasi Elektronik dapat dipakai sebagai alat bukti dalam perkara perdata, bila diajukan di depan persidangan menjadi bukti yang sah, dan memberatkan bagi pemiliknya, sehingga dapat dikatakan merupakan perluasan alat bukti yang telah diatur dalam Pasal 164 HIR, namun ada pula yang menganggapnya sebagai bukti permulaan. Informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam perkara perdata, hal ini karena dikatagorikan sebagai alat bukti tertulis.  Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasinya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat menerangkan suatu keadaan. Oleh karena itu Informasi Elektronik mempunyai kekuatan pembuktian seperti alat bukti tulisan jika dapat ditampilkan ataupun dicetak dan diakui oleh pemiliknya (Heniyatun, 20018).

·         Contoh Kasus dan Cara Melakukan Pembuktian dengan Menggunakan Media Elektronik

Menurut Jumadi (Hakim Pengadilan Agama Magelang), cara penggunaan Informasi Elektronik sebagai alat bukti yaitu: alat bukti tersebut harus disampaikan di depan persidangan dengan melampirkan hasil digital forensik yang dikeluarkan pejabat/ instansi/ pihak yang berwenang dan/ atau mendatangkan saksi ahli. Digital forensik adalah teknik pengumpulan, identifikasi, analisis, pengujian dan penyajian barang bukti elektronik yang digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum dalam persidangan (Heniyatun, 2018).
Maraknya perselingkuhan di dalam rumah tangga dipicu dari media elektronik. Dalam masyarakat yang berkembang sangat pesat seperti saat ini alat bukti elektronik sering diajukan oleh sumi atau istri dalam perkara perceraian untuk memperkuat dalil-dalilnya. Dalam perkara perceraian dimana suami atau isteri mengajukan alat bukti yang berupa sms dapat dikategaorikan bahwa sms tersebut dapat dipertimbangkan sebagai salah satu komponen dalam memutuskan perkara. Hal ini disebakan dari sifatnya SMS berbentuk tulisan sehingga memiliki kesamaan unsur dengan bukti tertulis. Dalam penggunaan SMS sebagai alat bukti dalam perceraian haruslah dilakukan secara teliti dan perlu dipadukan dengan alat bukti yang lain. Dengan demikian suami atau istri yang mengajukan bukti SMS dalam perkara perceraian juga dapat dijadikan pertimbangan dalam putusan hakim dengan syarat bukti SMS tersebut harus dihadirkan ke persidangan
Selain itu bukti foto atau chatting dari media elektronik (seperti whatsaap ) dapat diajukan pula ke persidangan . Dengan cara mencetak bukti foto dan chatting , dengan mencetak bukti tersebut dapat dikategorikan dalam alat bukti tulisan (164 HIR) dan dipadukan dengan bukti aslinya sesuai dengan Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008 tegas menyebutkan bahwa setiap informasi/dokumen elektronik baru dianggap sah sebagai alat bukti sepanjang dapat diakes, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. 

DAFTAR PUSTAKA
Heniyatun, B. T. I. S., 2018. Kajian Yuridis Pembuktian dengan Informasi Elektronik dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan. Varia Justicia, XIV(1),pp. 30-39

Susylawati, Eka., 2015. Kedudukan Bukti Elektronik Dalam Pembuktian Perkara Perceraian. Pp. 278-298

Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata. Bandung,
Alumni,2009. 


Jumat, 14 Juni 2019

Tugas Hukum Acara Perdata


Oleh                        : Dian Novita/17.0201.0025/4A
Dosen Pengampu  : Heniyatun, SH., MHum

Bagaimana cara pembuktian suatu alat bukti selain yang tercantum di dalam Pasal 164 HIR seiring dengan perkembangan era digital dan termasuk alat bukti yang manakah apabila dikategorikan dalam jenis alat bukti dalam Pasal 164 HIR ?

Perkembangan yang begitu pesat mengenai teknologi pada era milenial seperti sekarang ini, yang ditandai antara lain dengan maraknya penggunaan internet dimana hal ini termasuk menjadi kebutuhan primer bagi manusia. Dengan adanya internet menimbulkan kemanfaatan lebih bagi para penggunanya, seperti dalam transaksi perdagangan dengan menggunakan sistem elektronik, yang sering disebut dengan e-commerce yang mengakibatkan pula tidak adanya jarak antar negara sehingga hal tersebut dapat meningkatkan sistem perdagangan. E-commerce dapat meliputi kegiatan-kegiatan seperti: transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan suatu sistem pengumpulan data otomatis.
Kemajuan teknologi informasi ini harus diiringi dengan berkembangnya peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat karena teknologi telah mengubah suatu pola kehidupan manusia di berbagai bidang, sehingga secara langsung telah mempengaruhi munculnya perbuatan hukum baru di suatu masyarakat, selain itu dengan semakin mudahnya akses dalam media internet maka memungkinkan semakin mudah pula terjadi tindakan-tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan, seperti pencemaran nama baik, transaksi bisnis yang di dalamnya mengandung unsur penipuan maupun banyaknya transaksi yang tidak diikuti adanya pelaksanaan prestasi dari salah satu pihak (wanprestasi), dan lain sebagainya. Maka sudah seharusnya peraturan juga ditingkatkan sesuai dengan berkembangnya kemajuan teknologi yang ada, terutama dalam hal pengajuan alat bukti yang digunakan sebagai sarana pembuktian di pengadilan. Mengenai hal tersebut telah diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Berkenaan dengan macam alat bukti yang sah, menurut pasal 164 HIR jo. Pasal 1866 BW ada 5 macam alat bukti: bukti tulisan/ surat; bukti saksi; bukti persangkaan; bukti pengakuan; dan, bukti sumpah. Dengan demikian, alat bukti yang paling diutamakan dalam hukum acara perdata adalah tulisan atau surat. Kemudian, dengan diberlakukannya UU ITE maka terdapat suatu pengaturan yang baru mengenai alat-alat bukti dokumen elektronik. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 1 UU ITE ditentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/ atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Selanjutnya di dalam Pasal 5 ayat 2 UU ITE ditentukan bahwa informasi elektronik atau dokumen elektronik dan/ atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan perluasan alat bukti yang sah dan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, bahwa UU ITE telah menentukan bahwa dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan suatu alat bukti yang sah dan merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang telah berlaku di Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti di muka persidangan (Wahyudi, 2012). Dengan demikian penggunaan dokumen elektronik sebagai suatu alat bukti yang dianggap sah apabila menggunakan suatu sistem elektronik sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU ITE, yang menentukan bahwa dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga menerangkan suatu keadaan. Di samping itu, dokumen elektronik yang kedudukannya dapat disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas, sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Umum UU ITE.
Menurut (Alvi, 2011), penentuan sebuah dokumen elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti harus merujuk kepada beberapa kriteria, yaitu :

a.       Diperkenankan oleh Undang-Undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
b.      Reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya.
c.       Necessity, yakni alat bukti yang memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
d.  Relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
e.       Keterangan dari saksi ahli terhadap sebuah dokumen elektronik

Dokumen elektronik adalah salah satu bentuk dalam pembaruan hukum acara perdata Indonesia. Hal ini seharusnya menjadi titik tolak karena posisi dokumen elektronik telah jalas dan memiliki keabsahan sebagai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga setiap dokumen elektronik harus dinilai setiap diajukan oleh para pihak yang bersengketa (Muhammad Iqbal Tarigan, 2016). Cara melakukan pembuktian dengan mengunakan alat bukti Informasi Elektronik dalam perkara perdata sama dengan pengajuan alat bukti tertulis atau surat, yaitu diajukan dalam persidangan dalam bentuk salinan atau foto copy dari alat bukti tertulis tersebut, dan harus dicocokkan dengan aslinya terlebih dahulu. Informasi Elektronik sebagai alat bukti, dalam penyajiannya di persidangan sedikit ada perbedaan, yaitu harus sudah ada pengakuan dari pemiliknya, setidaknya dapat diperlihatkan atau ditampilkan di pengadilan, sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah seperti alat bukti tertulis lainnya (Heniyatun, 2018).

Jadi, berdasarkan uraian di atas, maka telah jelas bahwa dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah serta diakui keabsahannya, karena telah ditentukan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karena itu, dokumen elektronik dapat diajukan dimuka persidangan sebagai alat bukti dan dokumen elektronik ini termasuk ke dalam alat bukti tulisan/surat jika dikategorikan dari alat bukti yang tercantum dalam Pasal 164 HIR sehingga cara mengajukannya sebagai alat bukti juga tidak jauh berbeda dengan alat bukti tertulis/ surat, yaitu dengan cara mencetaknya dan/ atau menampilkannya pada saat persidangan.


DAFTAR PUSTAKA

Heniyatun, B. T. I. P. S., 2018. Kajian Yuridis Pembuktian dengan Informasi Elektronik dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan. Varia Justicia, XIV(1), pp. 30-39.

Muhammad Iqbal Tarigan, R. B. G. D. H., 2016. Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti dalam Perspektif Pembaruan Hukum Acara Perdata Indonesia. USU Law Journal, IV(1), pp. 127-138.

Wahyudi, J., 2012. Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Pada Pembuktian di Pengadilan. Perspektif, XVII(2), pp. 118-126.

Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Medan: PT. Sofmedia, 2011), hal. 13 – 14.  

Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Undang-Undang

KEABSAAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008                                                 Oleh: M Bagus Boy Sa...