KEABSAAN
ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008
Oleh:
M Bagus Boy Saputra 17.0201.0036
Sumber
: Heniyatun, Bambang Tjatur S, Puji
sulistiyaningsih, Kajian Yuridis Pembuktian dengan Informasi Elektronik
dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan, Varia justisia
Teknologi informatika dan komunikasi telah mampu
mengubah pola hidup masyarakat secara global
dan mengakibatkan perubahan sosial, budaya pendidikan, ekonomi dan pola
penegakan hukum yang kecepatanya berlangsung secara signifikan. TIK dewasa ini
tidak saja terbukti memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan,
tetapi juga menjadi sarana efektif untuk melakukan kejahatan. Kejahatan
menggunakan media TIK merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan, misalnya:
banking crime, credit card, hacking,
cracking, face books, dating, cyber porn, cyber sex, interception,etc.
Di
era globalisasi transaksi elektronik di satu sisi memang menguntungkan, tetapi
di pihak yang lain menimbulkan penyelewengan dan masalah hukum, kususnya
mengenai sahya suatu perajnian dengan menggunakan media elektronik. Menurut
ketentuan pasal 1313 KUH Perdata: Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu
orang atau lebi mengikatkan dirinya terahadaap satu orang atau lebih.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata ditegaskan syarat sahnya
perjanjian: sepakat saling mengikat diri, kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian dan suatu sebab yang halal.
Keabsahan
transaksi elektronik dengan mendasar pada ketentuan pasal 1320 KUH Perdata,
sebenarnya tidak menjadi masalah jika dihubungkan dengan media yang digunakan
dalam transaksi yang lain, karena ketentuan pasal 1320 KUH Perdata tidak
mensyaratkan bentuk dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi. Asas
kebebasan berkontrak yang dianut KUH Perdata dimana para pihak dapat bebas
menentukan dan membuat suatu perikatan atau perjanjian dalam bertransaksi yang
dilakukan berdasarkan iktikat baik (vide pasal
1338 KUH Perdata). Jadi apapun bentuk bentuk dan media dari kesepakatan
tersebut, tetap berlaku dan mengikat para piak karena perikatan tersebut
merupakan undang-undang bagi yang membuatnya. Permasalahan
yang akan timbul dari suatu transaksi apabila salah satu pihak ingkar janji
(wanprestasi). Penyelesaian permasalaan yang terjadi tersebut selalu berkait
dengan apa yang menjadi barang bukti dalam bertransaksi terlebih apabila
transaksi yang menggunakan sarana elektronik. Hal ini karena menggunakan
dokumen atau data elektronik sebagai akibat transaksi melalui media elektronik,
belum diatur secara khusus dalam hukum acara yang berlaku, baik dalam hukum
acara perdata maupun dalam hukum acara pidana.
Sebelum
adanya Undang-Undang Nomor 11 taun 2008 tentang informasi dan komunikasi
elektronik (UU ITE), Makama Agung menyadari adanya perkembangan teknologi
inormatika dalam menyikapi penggunaan microilm
atau microice untuk menyimpan
suatu dokumen. MA dengan suratnya tanggal 14 Januari 1988 yang diajukan kepada
Menteri Kehakiman menyatakan bahwa microfilm
dapat dipergunakan sebagai alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam
pasal 184 ayat (1) huruf c KUHA Pidana, denga catatan bahwa baik microfilm maupun microfiche itu, yang sebelumnya dijamin otentiknya, dapat
ditelusuri kembali dari registrasi dan berita acaranya. Demikian pula dengan
diundangkanya Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tanggal 24 Mei 1997, tentang
dokumen perusaaan yang dalam pasal 15 ayat (1) ditegaskan : Dokumen Perusahaan
yang tela dimuat dalam microfilm atau
media lainya dan atau hasil cetakanya merupaka alat bukti yang sah. Selanjutnya
apabila memperhatikan ketentuan Pasal 1 angka 2, mengenai pengertian dokumen
dan dikaitkan degan pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No 8 tahun
1997 Jo pasal 1320 KUH Perdata transaksi melalui media elektronik adala sah
menurut hukum.
Undang-Undang No 11 Tahun 2008 merupakan ukum baru dalam
kasana peraturan perundangan di Indonesia. Karea itu dengan menganut asas yurisdiksi
ekstrateritorial dan alat bukti elektronik, sudah seperti alat bukti lain yang
diatur dalam KUJAP pasal 184 atau H.IR.Bg.
(Pasal 45,164) jika dikaitkan denga ketentuan pasal 11 UU ITE tanda tangan
elektronik diakui memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan
konensional yang menggunkan tintan basah dan bermaterai. Keadaan itu diharapkan
akan memberikan kepastian hukum bagi pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi yang telah pesat berkembang pesat dan memasuki berbagai segi kehidupan
berbagsa dan bernegara. Eksistensi
ketika terjadi sengketa keperdataan (wanpresasi), hukum mulai muncul ke
permukaan karena dibutuhkan indikator keabsaan perjanjian, keb, hukum mulai
muncul ke permukaan karena dibutuhkan indikator keabsaan perjanjian, keabsahan
transaksi, pembuktian, keabsahan alat bukti, penyitaan dan seterusnya. Dengan
demikian kendala yag dihadapi dalam pembuktian di persidangan adalah keabsahan
dokumen-dokumen transaksi yang dapat diajukan sebagai alat bukti. Alat bukt dalam kasus perdata dapat dilihat
dengan tegas dalam pasal 164 H.I.R/ R.Bg dan pasal 1866 KUH Perdata, bahwa
alat bukti adalah tulisan, saksi-saksi, persangkaan, pengakuan atau sumpah.
Dalam H.I.R/ R.Bg maupun KUHAP belum mengatur masalah alat bukti elektronik
namun di berbagai undang-undang yang baru telah mengatur dokumen elektronik
menjadi alat bukti yang sah.
Cara
melakukan pembuktian dengan mengunakan alat bukti Informasi Elektronik dalam perkara
perdata sama dengan pengajuan alat bukti tertulis atau surat, yaitu diajukan
dalam persidangan dalam bentuk salinan atau foto copy dari alat bukti tertulis
tersebut, dan harus dicocokkan dengan aslinya terlebih dahulu. Informasi
Elektronik sebagai alat bukti, dalam penyajiannya di persidangan sedikit ada perbedaan,
yaitu harus sudah ada pengakuan dari pemiliknya, setidaknya dapat diperlihatkan
atau ditampilkan di pengadilan, sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti
yang sah seperti alat bukti tertulis lainnya.
Dalam
prakteknya Informasi Elektronik sebagai alat bukti dalam perkara perdata,
diperlukan pengakuan dari pemiliknya, karena yang terpenting adanya pengakuan
agar bukti tersebut menjadi sah. Persoalannya adalah jika Informasi Elektronik
tersebut diingkari atau tidak diakuinya. Seperti diketahui bersama bahwa Pasal
164 HIR mengatur tentang macam-macam alat bukti yang digunakan di persidangan,
yaitu bukti surat, bukti saksi, pengakuan, persangkaan, dan sumpah. Telah
dijelasakan di atas bahwa Informasi Elektronik, tertmasuk dalam katagori bukti
tulisan (hasil cetak). Namun di sisi lain bahwa harus ada pengakuan. Kalau
demikian halnya maka Informasi Elektronik tersebut termasuk dalam katagori
pengakuan, sebab jika pengakuan tersebut dilakukan di depan persidangan maka
menjadi bukti yang memberatkan bagi yang mengaku tersebut. Jadi merupakan bukti
yang mementukan, yaitu merupakan bukti yang mengikat, maka hakim wajib menerima
pengakuan tersebut sebagai hal yang benar, dan pengakuan tersebut tidak dapat
dicabut lagi. Lain halnya jika pengakuan tersebut dilakukan di luar
persidangan, maka merupakan bukti bebas, yaitu diserahkan kepada pertimbangan
hakim, hakim bebas untuk menentukan, apakah akan menerimanya atau akan
menolaknya.
Apabila
Informasi Elektronik tersebut diingkari atau tidak diakuinya, maka cara pembuktiannya
kembali pada Pasal 163 HIR, yaitu barang siapa mendalilkan maka harus
membuktikan dalilnya tersebut. Dalam hal ini maka penggugatlah yang harus membuktikannya.
Selain itu merujuk juga pada Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2008: “Setiap Orang yang
menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang lain
berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik harus
memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang ada padanya
berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan
Perundangundangan”. Pasal 7 UU ITE ini menjelaskan bahwa Dokumen Elektronik
dan/ atau Informasi Elektronik dapat digunakan sebagai alasan timbulnya suatu
hak. Namun demikian agar Dokumen
Elektronik dan/ atau Informasi Elektronik dapat dinilai
sebagai alat bukti maka diperlukan seorang ahli untuk melakukan penilaian.
Karena untuk menentukan apakah Dokumen Elektronik/ Informasi Elektronik
tersebut layak dijadikan alat bukti atau tidak dibutuhkan kemampuan seorang
ahli dalam bidang tersebut. Terakhir apabila alat bukti elektronik tersebut
tetap diingkari/ tidak mau mengakuiya maka dapat digunakan alat bukti yang
terakhir yaitu bukti sumpah. Hakim dalam hal ini dapat membebankan sumpah
suppletoir kepada salah satu pihak yang buktinya sudah mendekati kebenaran.
Dokumen Elektronik dan atau Informasi Elektronik secara
yuridis dapat digolongkan ke dalam alat bukti tertulis sehingga cara
mengajukannya sebagai alat bukti juga tidak jauh berbeda, yaitu dengan cara mencetaknya
dan/ atau menampilkannya pada saat persidangan, kemudian harus cocok dengan aslinya
(Pasal 5 jo Pasal 6 UU ITE), namun demikian hakim dapat pula meminta keterangan
dari seorang saksi ahli untuk memastikan kebenarannya. Keterangan saksi ahli
dapat dijadikan pertimbangan hakim untuk memastikan apakah Informasi Elektronik
tersebut sah digunakan sebagai alat bukti di persidangan. Jadi sebenarnya
Informasi Elektronik tersebut jika sudah ada pengakuan dari pemiliknya maka
Informasi Elektronik tersebut sudah sah sebagai alat bukti, namun apabila hakim
menganggap masih belum cukup maka perlu ditambah dengan bukti lain. Lebih
lanjut Pasal 6 UU ITE menyebutkan: ”dalam hal terdapat ketentuan lain selain
yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yangmensyaratkan bahwa suatu informasi harus
berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang
tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan
dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.